Blog: My Little Daddy dan Rumah Sunyi
Twitter: @ibrahim_sukman
Aku menyanjung hujan
Sesekali mengutuknya
Seperti sore ini, ia merayu sunyi
Memaksaku menziarahi kembali
Sepotong wajah bening berpayung jingga
bermata sayu seperti mengajakku,
dan basah setelah hujan rebah di pinggir kota,
tujuh tahun yang renta.
Barangkali hanya kepada senja aku bercerita
Tentang mukadimmah di selembar kertas putih,
dan hanyut ketika kau menanamnya di kedalaman sungai
sebelum lidahmu sampai pada juz berikutnya.
Juga tentang waktu yang lebat beruban,
musim yang tak kenal zaman, dan
tentang sunyi yang singgah di atara engkau dan aku.
Sore itu.
Khilafku Nda, senja tak lagi menyimak cerita kita.
Sebab, hujan sore ini kembali membasahi jenazah kisah,
dan sebujur perjalanan yang telah lama aku makamkan
Sekali lagi, Nda, ini hanya sebuah fragmen
Tentang sepotong wajah beningmu,
dan payung berwarna jingga yang ku pinjam dari tetangga.
Meski hanya hitungan jari,
namun angin pernah mengabarkan kerinduan mu,
pada episode yang singkat, sebelum terang memisahkan kita
sore itu.
II
Kemudian aku mendendam
pada pilu yang menikam
Nyaris serupa pilu yang kau rahasiakan kepada mendung,
dan tumpah seketika saat ku payungi wajahmu.
Waktu pernah menyamakan kita, Nda?
senasib dan serupa; penderitaan
Khilafku, Nda, sungguh tak mengira
meski kita sama-sama punya derita, namun,
sekiranya deritamu adalah deritaku, niscaya aku tak bakal mampu menanggungnya.
(ah, aku megutuk hujan telah menyertakan bagian ini dalam ziarahku sekali ini).
Tetesan hujan yang saru ku usap lenyap di pipimu.
Lalu kau mengutuknya di sepanjang jalan
Sedang aku berterimakasih dan memujinya.
Sore itu
III
Sejenak kita membisu
Melempar mata ke selebat hujan, lalu bertubrukan pandang
Sesekali diakhiri dengan senyuman.
Sayang setelah hujan berhenti,
kita saling berpamit diri
dan sejak itu, kita tak pernah berjumpa lagi.
Sore itu.
IV
Kemudian kau mati.
Kata Izrail, Tuhan kelewat cemburu padaku
Sejak itu pula, aku selalu saja membaca
Pada setiap nisan
Pada sisa malam yang menyiksa,
pada matahari yang tak tau diri,
atau pada Tuhan yang iri
dan pada apapun, sekiranya aku dapat melafal namamu
untuk kali peghabisan
Namun, tak satu pun batu mengukir namamu.
Lantas aku berputus asa,
dan mulai mengakrabi lupa,
hingga sepotong wajah bening dan payung berwarna jingga,
benar-benar sirna.
Ah, Nda? Siapa nyana, hujan sore ini, menyiar kabar lewat seorang teman sekamarmu. Berupa kata ya, yang kau tahan di bibirmu untuk menguji kesabaranku. Ternyata, diammu adalah jawaban yang aku pahami kemudian, sebagai rasa sayangmu kepadaku.
Ah, Tuhan, aku benar-benar mengutuk hujan.
Sore itu
Kepada ER; semoga kau berbahagia di sisi Tuhan
Purwokerto, Januari 2013
hujan selalu membawa kenangan...
ReplyDeletesmoga dia tenang disana
Dalam sekali artinya, diksinya juga keren. Semoga yang dimaksud mendapat tempat terindah di sisi-Nya... amin.
ReplyDelete