Gara-gara Jempol
Anda tahu permainan suit, atau suit jreng, atau sut jreng? Itu lho, permainan tradisional dengan menggunakan media tiga jari, yaitu, jempol, jari telunjuk dan jentik. Jempol sebagai perlambang gajah, jari telunjuk sebagai perlambang manusia, dan jari kelingking sebagai perlambang semut.
Cara permainannya, dua orang saling berhadapan dan saling beradu jari di waktu yang sama (sesuai kesepakatan). Gajah menang dari manusia tapi dia kalah oleh semut. Manusia menang dari semut tapi kalah oleh gajah. Semut kalah oleh manusia tapi bila menghadapi gajah dia menang. Itulah konsep dari permainan suit jreng.
Jempol Itu Gajah
Haha, kadang-kadang saya tertawa sendiri jika memikirkan manfaat jempol. Sederhana tapi maut. Gara-gara jempol, saya bisa lebih kuat menggenggam cangkir yang berisi kopi panas. Jempol membuat saya bisa lebih merdeka mencubit pipi Prit, ehem. Jempol selalu setia menuliskan huruf demi huruf, ketika saya hendak mengirim sms. Jempol adalah bahasa universal, yang ketika diacungkan ke arah langit, dia memiliki nilai simbolik tentang segala hal yang bersifat baik.
Di dunia suit jreng, jempol adalah gajah. Kenapa harus begitu? Mungkin, pada jaman dahulu kala para pencipta permainan suit jreng beranggapan bahwa gajah adalah hewan yang menyimpan kekuatan super, tapi dia tidak menyadarinya. Itu yang membuatnya tidak dinobatkan sebagai si raja hutan. Ketidaksadarannya akan kekuatan sendiri berdampak pada lemahnya sisi kepercayaan diri. Terbukti, untuk melawan semut saja dia tidak pede.
Dibalik ketidakpercayadiriannya, ada tersimpan sederet kehebatan. Sepertinya, Zuckerberg (pencipta facebook) menyadari hal ini. Itulah kenapa dia menempatkan jempol di singgasana yang megah, hingga kata-kata 'Like This' menjadi sepopuler sekarang.
Diakui mapun tidak, seiring populernya jejaring sosial, jempol juga ikut-ikutan naik daun. Di sisi lain, permainan suit jreng semakin terpuruk di kategori hampir punah.
Jempol Sang Ibu Jari
Begitu hebatnya jempol hingga dia juga mendapat gelar terhormat sebagai Ibu Jari. Artinya, dia harus bisa mengayomi keempat karakter jemari yang lain. Jari telunjuk, jari tengah, jari manis, dan jentik.
Ketika jari telunjuk dengan pongahnya menunjuk ke suatu arah, maka sang ibu jari akan menenangkannya dengan mengucapkan kalimat, "jadilah penunjuk jalan yang lurus."
Ketika jari tengah melakoni perannya sebagai simbol fuck (maaf), maka jempol akan berusaha meredakan situasi dan berkata, "Hai jari tengah, kau harus selalu ada di tengah. Tidak ke kanan, tidak ke kiri, dan tidak pula memaki. Ingat-ingatlah satu hal, kau adalah jari yang paling dekat menunjuk langit, saat tangan-tangan kita sedang berdoa."
Ketika jari manis merengek dan memaksa diri untuk turut berperan dalam permainan suit jreng, maka sang ibu jari berkata. "Duhai jemari yang manis, kau adalah yang paling lemah diantara kami. Namun begitu tugasmu sungguh mulia, yaitu menemani kami berempat. Bukankah itu terdengar manis? Tanpa kehadiranmu, bagaimana bisa tuan RZ Hakim memetik gitar dan menyanyikan lagu untuk apikecilnya?"
Sekarang giliran jentik, perlambang semut.
Terbukti, dia berhasil menggunakan kelemahannya sebagai kekuatan. Kecil bukan berarti harus kalah, terinjak bukan berarti mati. Begitu kurang lebihnya prinsip jentik. Hanya dia satu-satunya potensi jemari yang berani melawan jempol a.k.a gajah. Caranya cukup merayap ke telinga gajah dan menggigitnya sekuat tenaga.
Apa yang akan dilakukan jempol ketika harus berhadap-hadapan dengan jentik? Mungkin gajah akan berkata, jangan gigit kupingku, tapi belailah dengan mesra hingga aku terlelap.
Sedikit Tambahan
Kenapa tiba-tiba saya ngomong seputar jempol? Sebab, tulisan ini lahir dikarenakan jempol. Ya, satu jam yang lalu saya menjempoli status Kang Lozz di grup webe. Alhasil, dia membalas dengan kalimat seperti ini, "yang njempol tanggung jawab urun artikel pisan."
Permohonan maaf kepada siapa saja yang barangkali memiliki keterbatasan secara fisik. Maaf, maksud dari tulisan ini bukan untuk memperolok-olok. Terima kasih atas pengertiannya.
Salam saya,