Wijaya, pria 40 tahun, terlihat berdiri di salah satu koridor poliklinik ‘Anak dan Bunda’. Dia bertemu perawat jaga di depan pintu ruangan, tempat Zul dirawat inap.
“Suster, saya boleh melihat anak saya sekarang? Bisa saya bertemu dengan dokter?” Raut Wijaya menyiratkan kekhawatiran.
“Maaf, belum bisa, Pak. Kondisi anak Bapak kritis. Dokter masih memeriksanya di dalam.” Perawat itu tersenyum ramah.
“Oh, begitu, ya. Terimakasih, suster.”
Suster berlalu ke ruang dokter di sebelah kanan ruang rawat inap. Tak berapa lama, suster itu kembali ke ruang rawat inap. Perasaan Wijaya tak keruan. Dia sempat berpikir hal terburuk akan terjadi pada Zul. Namun berkali-kali dia menepis pikiran itu. Dia mendekati bangku panjang di lorong itu, lalu duduk. Hatinya terus menerus memanjatkan doa dan harapan baik untuk anaknya.
Satu jam berlalu. Dokter keluar dari ruangan itu. Wijaya menghambur menuju dokter.
“Dokter, bagaimana anak saya?”
“Bapak, orangtua dari Zulfikar?”
“Ya, betul. Bagaimana keadaannya?”
“Saya sudah melakukan yang terbaik. Kita lihat saja perkembangannya. Dia masih kritis.”
“Apakah dia perlu tambahan darah, dok? Saya bersedia.” Wijaya rela mengorbankan nyawa demi Zul.
“Tidak perlu, Pak. Stok darah sudah cukup. Bapak berdoa saja. Semoga yang terbaik untuk anak Bapak.” Dokter berusaha memberi harapan pada Wijaya.
“Terimakasih, dokter.”
“Ya, sama-sama, Pak.” Setelah dokter berlalu, Wijaya tertunduk.
Pikiran dan hatinya semakin tak nyaman. Ya Tuhan, berikan yang terbaik untuk anakku. Jika Engkau menginginkannya pulang, aku rela. Suster jaga keluar dari ruangan tadi, langkahnya terburu-buru menuju ruangan dokter.
Tak lama kemudian, dokter kembali bersamanya. Mereka masuk ke ruangan tempat Zul terbaring. Wijaya kembali mendekati pintu ruangan itu, dan dadanya bergemuruh. Dia merasa sesuatu yang buruk benar-benar terjadi pada Zul. Lima menit berselang, dokter keluar dari pintu itu.
“Pak...” Dokter keluar dan bertemu muka dengan Wijaya.
“Ya, dok?” Kening Wijaya berkerut, kedua alisnya bertaut.
“Maafkan saya, Pak. Saya sudah berusaha semaksimal mungkin, namun Tuhan berkata lain.”
Wijaya bersandar lemas ke dinding. Dia menangkupkan kedua tangan ke wajahnya dan seketika itu pula hujan membanjiri kedua pipi dan hatinya. Oh Tuhan, jika ini memang yang terbaik untuknya... Kuatkanlah aku, demi Zul.
Wijaya berusaha segera bangkit dan melangkah masuk ke ruangan itu lunglai. Dia melihat Zul terbaring dibalut selimut putih. Berada di dekat anak kesayangannya yang terbujur kaku, dia merasa berada dalam mimpi buruk. Tangan Zul dipegangnya erat, dikecupnya berkali-kali sambil terisak. Sungguh terasa menyesakkan dada. Zul harus pulang ke hadapanNya.
****
Wijaya tengah melamunkan anak semata wayangnya, ditemani suara rintik hujan. Gemericiknya seolah memaknai hatinya yang sedang gundah. Tanah merah masih basah. Zulfikar telah pergi selama-lamanya. Usia 14 tahun masih terlalu muda untuknya berpulang. Tak ada lagi canda tawa yang akan menghiasi hari-hari lelah Wijaya.
Langkah Wijaya terasa amat berat menuju rumahnya hari itu. Dia merasa dunia ini tak ada artinya lagi tanpa Zul. Tak ada suara tawa lagi di rumahnya. Rumah sederhana bercat biru muda, dengan halaman depan yang asri nan luas, kini sepi. Hanya dirinya sendiri di sana. Sesampainya di rumah, dia memutuskan untuk duduk di kursi teras depan terlebih dulu.
Pandangannya kosong, dan mulai mempertanyakan, apakah ini mimpi atau bukan. Tak lama kemudian, dia membuka pintu depan yang terkunci rapat. Foto Maya dan Zul yang tergantung di tembok ruang depan, dia pandangi lekat-lekat. Maya, Zul, aku sangat menyayangi kalian. Tapi kenapa kalian pergi begitu cepat? Aku butuh kalian...
Zul seorang anak yang tangguh. Walau sering merasa tak sehat di hari-hari sibuknya, dia tetap semangat bersekolah. Wijaya dan Maya sangat memerhatikan anaknya. Namun Maya telah berpulang lebih dulu sebelum Zul. Wijaya memilih merawat sendiri Zul hingga di hari terakhir kebersamaannya. Kepergian Zul masih menyisakan sesak di dada Wijaya. Dia tak menyangka Zul akan pergi secepat ini.
Rasanya baru kemarin, Ayah mengajakmu bermain bola di tanah lapang dekat rumah kita. Ayah ingin kamu menemani Ayah sampai tua nanti. Kenapa kamu mendahului Ayah? Rintihan hati Wijaya seolah didengarkan semesta. Langit mendung mulai menggulung. Duka mendalam yang dirasakannya larut bersama awan mendung. Hujan rintik berubah semakin deras, sederas tangis Wijaya.
***
Zulfikar seringkali mimisan. Dia juga mengeluh pusing. Wijaya sangat khawatir setiap kali Zul mengalami hal itu. Wijaya beberapa kali membawa Zul ke dokter, namun apa yang disarankan dokter bagi Zul belum terlihat hasilnya. Zul malah semakin terlihat kelelahan, agak pucat, namun semangatnya untuk tetap belajar dan berolahraga tetap terpancar. Dokter menganalisa Zul menderita kelainan sel darah.
Wijaya tak bisa menyalahkan siapa-siapa dengan apa yang terjadi pada Zul. Wijaya selalu teringat istrinya, Maya, saat melihat Zul mengalami beberapa gejala. Sepulang sekolah terkadang dia mengeluh mual, dan Wijaya melihat gejala lain. Lengan anaknya lebam-lebam. Menjelang malam hari, Zul demam hingga berkeringat dingin.
“Zul, kamu kenapa? Kamu berkelahi di sekolah? Atau jatuh di lapangan?” Belum sempat Zul membuka sepatu, dia diberondong pertanyaan Ayahnya.
“Nggak Yah, aku nggak apa-apa kok. Cuma capek.” Zul mencium punggung tangan kanan Ayahnya, lalu segera mengambil posisi duduk di sofa ruang depan. Dia merebahkan diri di sana.
“Terus, ini kenapa biru-biru begini tanganmu, Zul?” Wijaya bernada khawatir.
“Aku nggak ngerti, Yah, tiap aku merasa kelelahan, kadang-kadang tangan jadi begini.”
“Ibu kamu juga begini dulu, Zul...” Nada suara Ayahnya melemah, gerakan matanya seperti mengingat sesuatu. Jemari kanannya masih memegang lengan Zul.
“Ayah, aku nggak apa-apa kok. Cuma capek aja. Tenang...” Zul berusaha menenangkan hati Ayahnya.
“Zul, ganti dulu bajumu sana. Terus makan, ya? Ada masakan kesukaanmu di meja makan.” Wijaya membelai rambut ikal anaknya.
“Beneran, Yah?” Senyum Zul tiba-tiba merebak.
“Iya. Ayo, sana!” Wijaya menepuk punggung anaknya.
“Asyik!” Zul beranjak dari sisi Ayahnya, menuju ruang makan.
Sementara Wijaya berusaha mengingat beberapa gejala yang dialami Maya dulu.
Maya, lenganmu juga lebam-lebam seperti anakmu sekarang. Mungkinkah anak kita menderita hal yang sama denganmu?
“Ayah! Ayo, temenin aku makan dong.” Zul kembali menghampiri Ayahnya di ruang depan. Lamunan Wijaya memudar. Dia bangkit dari duduknya, dan segera menemani anak semata wayangnya.
“Ayah yang memasak semuanya, ya?” Zul penasaran dengan hidangan lezat di meja makan rumahnya.
“Iya, dong!” Senyum Wijaya mengembang.
“Wah, Ayah hebat! Aku mau seperti Ayah, jago memasak.” Zul menyambar ayam goreng balado di piring saji.
“Eits! Pake nasi makannya!” Wijaya melotot diiringi senyum jahil.
“Oke, Yah, aku akan makan dua piring nih kayaknya, hahaha...” Raut Zul nampak bahagia. Walau Maya tak lagi bersamanya, dia tetap senang memiliki Ayah yang hangat seperti Wijaya.
“Makan yang banyak, biar kuat.” Wijaya selalu menyemangati anaknya. Sesekali dia perhatikan wajah Zul lekat-lekat. Zul, kamu sangat mirip ibumu...
“Yah, tadi Ayah melamun apa?” Zul tak kalah perhatian terhadap Ayahnya. Mulutnya masih penuh dengan suapan nasi.
“Mmm... Ayah cuma ingat ibu.” Ada sedikit mega di pelupuk mata Wijaya. Zul berhenti mengunyah.
“Kenapa ibu pulang lebih dulu, Yah?”
“Entahlah, ini mungkin sudah suratan Tuhan, Zul.”
“Ibu kenapa, Yah?” Zul belum melanjutkan suapan berikutnya.
“Udah, makan dulu. Terus istirahat. Besok kalau terasa lemas lagi, kita langsung pergi ke dokter ya?” Wijaya tak ingin membebani pikiran Zul dengan jawaban yang dia sendiri tak mampu jelaskan.
“Iya, Ayah.” Zul menyelesaikan makanan yang tersisa di piringnya, lalu menambah beberapa sendok nasi ke piringnya.
“Ayah menelepon dokter dulu, ya?” Wijaya mengambil handphone-nya di kamar sebelah ruang makan. Zul hanya mengangguk. Mulutnya masih sibuk dengan santapannya.
Wijaya keluar dari kamar dan memencet tombol hijau untuk pilihan nama dokter April. Nada sambung dua kali terdengar.
“Selamat sore.” Suara dokter April di seberang sana terdengar lembut.
“Selamat sore dokter. Saya Wijaya, dok.”
“Ya, Pak, ada yang bisa saya bantu?”
“Begini dok, saya mau memeriksakan anak saya, Zul. Besok hari libur tetap buka praktek, ya?”
“Ya, saya tetap praktek. Silahkan, datang saja ke rumah saya. Saya buka mulai jam 9 pagi.”
“Baik, dokter. Besok saya ke sana. Terimakasih. Selamat sore.”
“Sama-sama, Pak Wijaya. Selamat sore.” Wijaya memencet tombol merah.
Zul selesai dengan kegiatan makannya, lalu pergi ke dapur. Piring kotornya langsung dia cuci bersih. Setelah itu, dia menuju kamarnya untuk membaca buku pelajaran sekolah. Wijaya menyusul ke kamar Zul.
“Zul, kalau capek, nanti saja baca bukunya.”
“Aku mau mengerjakan PR bahasa Inggris dulu, Yah. Sedikit kok.”
“Ya sudah. Setelah itu istirahat atau nonton sepakbola sama Ayah di sana, ya?”
“Oke, Yah.”
Wijaya mengelus rambut Zul, lalu keluar kamar. Wijaya menyalakan televisi di ruang tengah. Setengah jam berlalu dari pukul 6 petang. Zul selesai mengerjakan PR, dan segera menemani Ayahnya di ruang tengah.
“Yah, udah mulai pertandingannya?” Zul mengambil posisi duduk di karpet, sebelah kiri Wijaya, di depan televisi.
“Sebentar lagi nih... Mana cemilannya?”
“Kayaknya masih ada di kulkas, Yah.” Zul berdiri mengambil beberapa cemilan dan minuman ringan di kulkas.
“Ini Yah, cemilan sudah siap.”
“Sip!” Wijaya dan Zul tampak seperti dua orang sahabat. Mereka memiliki hobi yang sama, menonton pertandingan sepakbola.
Lima belas menit pertama pertandingan, cukup memancing teriakan Zul dan Ayahnya. Saat Zul meminum soda, dari hidungnya keluar cairan merah. Wijaya melihat itu.
“Zul, kamu mimisan lagi.” Wijaya segera mengambil tissue di meja makan, lalu melap hidung Zul perlahan.
“Zul, kamu berbaring dulu sebentar.” Zul menurut apa kata Ayahnya. Dia berbaring sejenak di kursi panjang di ruang itu, sambil kedua matanya tetap fokus pada televisi.
“Lebih baik kamu tidur sekarang, Zul.”
“Yah, pertandingannya seru nih... Nanti ajalah, setelah time out.”
Wijaya masih membersihkan sisa darah yang mulai berhenti mengalir dari hidung Zul. Janji Zul ditepati. Pertandingan berhenti sejenak untuk time out. Zul beranjak tidur di kamarnya. Sebelum benar-benar terlelap, Wijaya memastikan keadaan anaknya baik-baik saja. Dia memegang kening dan leher Zul.
“Kalau terasa demam, panggil Ayah, ya?”
“Iya, Ayah.” Wijaya merapatkan selimut Manchester United milik Zul.
Zul memejamkan mata. Wijaya mencium rambut Zul.
Esoknya, Wijaya membawa Zul ke dokter April, dokter langganan keluarga. Maya juga diperiksa olehnya. Mereka berangkat menaiki mobil Honda Accord hitam milik Wijaya.
Zul menceritakan hal-hal menyenangkan di sekolahnya dalam perjalanan menuju tempat praktek dokter April. Hanya setengah jam perjalanan saja, mereka sampai juga di sana. Wijaya merasa senang mendengar cerita anaknya. Dia bahagia memiliki anak seperti Zul.
“Nah, ini dia tempat dokter April.” Wijaya memarkirkan mobilnya di halaman rumah tempat praktek dokter April. Satpam memandu arah parkirnya kendaraan.
“Nanti kalau dokter April bertanya apa saja yang kamu rasakan, ceritakan selengkaplengkapnya ya, Zul.” Wijaya mengusap lembut rambut Zul.
Zul memandang ke luar jendela kaca depan mobil. “Ya, Ayah.”
“Ayo!” Wijaya mengajak Zul segera turun.
Zul nampak agak malas. Namun, dia tipe anak yang tidak pernah membantah apa kata Ayahnya. Zul keluar dari mobil mengikuti Ayahnya.
“Pagi, Pak. Silahkan.” Satpam memberi senyum ramah.
Mereka menuju teras depan, langsung menemui dokter April di ruangannya. Pagi itu belum terlalu banyak pasien di sana. Setelah petugas pendaftaran mengisi kartu pasien, Wijaya dan Zul diperbolehkan masuk ke ruangan dokter April.
“Selamat pagi. Silahkan.” Wijaya dan Zul disambut senyuman dokter April.
“Selamat pagi, dokter.” Wijaya membalas senyuman tadi sambil menjabat tangan dokter April. Zul turut melakukan hal yang dilakukan Ayahnya.
“Apa kabar, Pak Wijaya?”
“Saya sehat, dok. Ini putra saya yang mau diperiksa.”
“Oh... kenapa, Zul?” Dokter memerhatikan wajah Zul. Satu simpul senyum kecil di raut wajah Zul.
“Ayo, ceritakan kenapa kamu kemarin pulang sekolah.” Wijaya memancing Zul untuk membuka mulutnya.
“Saya sering pusing dokter. Lemas juga.”
“Iya. Terus apa lagi?”
“Kadang mual seperti ingin muntah. Tangan juga tiba-tiba biru seperti bekas pukulan.” Zul menjelaskan satu persatu gejala yang dia rasakan.
“Baik. Saya periksa dulu, ya? Yuk, ke sebelah sini.” Dokter April memandu Zul ke tempat tidur pasien, di balik tirai sebelah meja kerjanya.
“Naik ke sini. Zul, tiduran ya...” Dokter memasang stetoskopnya, lalu menempelkannya di dada Zul.
“Tarik napas pelan-pelan. Iya... Baik...” Dokter mendengar dengan seksama detak jantung Zul di stetoskopnya.
“Coba, bagian perut.” Baju kemeja Zul dibuka sedikit, lalu dokter April mengetukkan jarinya perlahan. Dia mengulanginya beberapa kali. Kemudian menekan bagian lambung Zul perlahan. Wijaya mendengar mereka dari balik sekat putih.
“Iya. Cukup.” Dokter selesai melakukan pengecekan awal. Zul kembali duduk di depan meja dokter April.
“Pak, Zul demam tidak kalau malam?” Dokter memastikan analisanya.
“Iya, dokter. Kadang-kadang berkeringat dingin. Betul kan, Zul?”
“Iya.” Zul mengangguk.
“Oke. Sementara saya kasih resep vitamin dulu, ya, Pak.”
“Iya, dokter.”
“Zul harus diperiksa lebih lanjut ke laboratorium darah. Hasilnya nanti diberikan pada saya, setelah itu saya lihat lagi. Apakah perlu perawatan khusus atau tidak.”
“Baik, dokter. Apa Zul harus istirahat total?”
“Nggak usah. Nanti dia bosan. Zul boleh beraktivitas seperti biasa. Makanannya lebih diperhatikan, harus menu yang sehat, ya...” Senyum dokter April masih seramah saat pertama mereka masuk ke ruangannya.
“Tuh, Zul, dengar apa kata dokter. Suka malas makan nih, dok.” Zul hanya tertunduk malu.
“Ini resep vitamin dan obat pereda mual.” Dokter memberikan resep obat pada Wijaya.
“Terimakasih, dokter.” Wijaya berpamitan pulang.
“Sama-sama, Pak.”
Zul mengekor langkah Ayahnya menuju mobil.
“Zul, kita ke kantor Ayah dulu sebentar, ya? Ada yang harus Ayah ambil di sana.”
“Oke, Yah.”
Mereka menuju kawasan perkantoran di perbatasan Bogor -Jakarta. Wijaya bekerja di sebuah jasa konsultan teknik arsitektur. Dia tak pernah mau pindah ke Jakarta. Bogor membuatnya tenteram. Dia tak pernah mengeluh walau harus menempuh sekitar 2 jam perjalanan dari Bogor ke Jakarta tiga kali seminggu ke kantornya.
“Zul, besok kita ke laboratorium, ya?”
“Harus, ya, Yah? Aku malas, Yah... Ngeri lihat jarum. Nanti aku ditusuk-tusuk.
Iiih...” Zul bergidik.
“Eh, harus Zul. Ini demi kesehatan kamu.”
“Aku nggak apa-apa kok, Yah.”
“Dokter yang menyarankan, Zul. Lebih baik besok periksa darah ke lab. Supaya tahu apa yang terjadi denganmu.”
“Ya deh... tapi sekarang beli es krim, ya, Yah?”
“Boleh. Nanti kita mampir di supermarket sebelah kantor Ayah.”
Suasana hening di dalam mobil. Zul telah tertidur. Wijaya masih konsentrasi dengan setir mobilnya dan sibuk dengan pikirannya tentang gejala Zul. Diliriknya Zul dengan penuh makna. Betapa berartinya Zul di dalam hidupnya. Tanpa Maya, Wijaya sempat rapuh. Namun tanpa Zul, mungkin hidupnya akan hancur. Sebagian dari dirinya mungkin akan menjadi butiran debu yang akan terhempas angin kencang. Entah terbang ke mana nanti butiran itu.
***
Hari cek darah tiba. Zul nampak ragu. Namun Ayahnya meyakinkan bahwa pengecekan darah tidak seburuk yang dia bayangkan. Mereka tiba di laboratorium Paramitha sekitar pukul 9 pagi. Nampaknya antrean panjang akan menguji kesabaran mereka. Zul telah menyiapkan buku untuk dibacanya selama menunggu. Wijaya pun membawa serta koran yang sedari tadi ada di mobil.
“Zul, Ayah daftar dulu sebentar, ya? Kamu duduk di sana.”
“Iya.” Zul segera mengambil tempat duduk dekat akuarium. Dia sempat memerhatikan beberapa ikan hias warna-warni bertingkah lucu di sana. Wijaya mulai mengantre.Zul membaca buku yang dia bawa. Ayahnya menghampirinya, lalu mengajaknya ke ruang pengambilan darah, di sebelah kanan loket pendaftaran. Setengah jam berlalu, nama Zulfikar dipanggil untuk pengambilan darah. Zul ditemani Ayahnya masuk ke ruangan.
“Yah, aku takut.” Zul nampak tak tenang.
“Nggak apa-apa. Seperti digigit semut.” Wijaya menenangkan.
Zul berusaha mengatasi ketakutannya. Perawat telah siap dengan sarung tangan karet dan beberapa peralatannya. Jari tengah Zul ditusuk dengan alat khusus, lalu bulir darah yang keluar dimasukkan ke dalam tabung kecil transparan. Perawat menutup bekas tusukan itu dengan plester. Zul terlihat tenang dan lega sekarang.
“Nggak apa-apa kan, Zul?” Wijaya meyakinkan Zul baik-baik saja.
Zul hanya menjawab dengan sebuah senyuman.
“Pulang sekarang, Yah?”
“Sebentar, Ayah tanya dulu. Hasil labnya kapan bisa diambil.” Wijaya menuju loket setelah nama Zulfikar dipanggil.
“Bapak, hasilnya tiga hari lagi baru bisa diambil.” Jelas petugas di loket.
“Oh iya, baik. Terimakasih, Mbak.” Setelah membayar sejumlah uang sesuai yang tertera di print out bill. Dia dan Zul pulang.
***
Tiga hari setelah pengambilan hasil laboratorium darah, Wijaya menemui dokter April. Kali ini tanpa membawa serta Zul.
“Pak Wi, saya telah membaca hasil laboratorium. Ternyata sel darah putih Zul abnormal. Trombosit dan hemoglobinnya rendah.” Jelas dokter April.
“Artinya apa, dok?”
“Coba dicek lebih lanjut. Nanti temui dokter spesialis anak. Kemungkinan dokter spesialis akan melakukan biopsi.”
“Biopsi itu apa, dok?” Kerutan di kening Wijaya semakin tegas.
“Itu adalah salah satu cara pasti untuk mengetahui apakah sel-sel darah putih yang dikhawatirkan ada dalam sumsum tulang Zul. Jadi, nanti dokter akan mengambil cairan yang ada di tulang pinggul atau tulang belakang.”
“Oh begitu. Baiklah dok, saya akan lakukan apa saja yang terbaik untuk anak saya.”
“Perhatikan makanan Zul dengan baik ya, Pak. Makanan dengan zat pewarna akan memperparah keadaan Zul.”
“Iya, dokter.”
“Ini nama dokter spesialis yang bisa Bapak temui di poliklinik Anak dan Bunda di Jakarta.” Dokter April memberikan kartu nama. Di sana tertera nama dokter Gunawan.
“Terimakasih, dokter.”
“Sama-sama, Pak Wi. Semoga Zul membaik.” Senyum dokter April kali itu lebih memancarkan ketulusan daripada sebelumnya. Wijaya segera pulang. Di perjalanan menuju pulang, dirinya sibuk memikirkan cara bagaimana membujuk Zul supaya mau menemui dokter Gunawan. Perjalanan ini akan melelahkan. Namun tidak bagi Wijaya. Dia akan menempuh jalan apapun, asalkan jalan yang terbaik bagi Zul.
Sesampainya di rumah, dia mendapati Zul terbaring di kursi ruang tengah. Dia nampak menggigil. Wijaya segera melap butiran keringat di wajah Zul. Segelas air minum dan obat pereda demam dia berikan pada Zul.
“Zul, semoga kamu kuat, Nak.” Wijaya berusaha menenangkan Zul dan suasana hatinya. Aku harus secepatnya memeriksakan Zul. Seminggu kemudian, Wijaya berhasil membawa Zul menemui dokter Gunawan di poliklinik. Zul menjalani beberapa pemeriksaan. Biopsi dilakukan oleh dokter Gunawan.
Wijaya sebenarnya tak tega melihat keadaan Zul saat proses biopsi. Namun, itu adalah salah satu cara yang harus dilakukan untuk mengetahui penyakit Zul. Entah ke berapa kalinya Wijaya memeriksakan Zul ke poliklinik. Konsultasi dengan dokter April dan dokter Gunawan pun terus menerus dilakukan. Kondisi Zul berangsur membaik. Lalu kembali memburuk hingga akhirnya Zul harus dirawat intensif.
Dokter April meluangkan waktu untuk menengok Zul beberapa kali. Dia juga mendengarkan segala apa yang dirasakan Wijaya tentang anaknya. Dokter April merasa hubungannya dengan Wijaya bukan sekedar hubungan antara pasien dan dokter.
Zul sempat diperbolehkan pulang setelah dokter Gunawan menganalisa kondisinya sudah cukup baik. Namun dua hari setelah kepulangannya ke rumah, dia kembali kritis. Dokter April menemani Wijaya menuju poliklinik, lalu Zul harus dirawat lagi.
Tiga hari di poliklinik, kondisi Zul belum menampakkan sesuatu yang berarti. Dokter April terus memberi dukungan semangat pada Wijaya. Dokter Gunawan menjalankan tugasnya dengan sangat baik.
***
Sampai hari Wijaya melamunkan Zul sambil menatap fotonya di ruang depan, dokter April berusaha mengusir sepi di hati Wijaya.
“Wi, tanah yang menyelimuti tubuh Zul masih basah, tapi kamu tak boleh menyerah. Aku mau menemanimu sampai kesedihanmu hilang.” Dokter April memegang tangan Wijaya.
“Terimakasih, Pril. Kebaikanmu semoga membuat Maya dan Zul bahagia di sana.”
Senyuman April menenangkan jiwa Wijaya dan menghapus setitik demi setitik kesedihan hati Wijaya. Hujan menjadi teman dalam setiap curahan hatinya pada dokter April. Hujan pun mampu berbahagia melihat Wijaya dan April saling memberi harapan.
***
Cerpen
@BetaKun