Sabtu, 12 April 2014. Jam dinding kamar telah menunjuk pukul 14.00. Usai bersiap, saya pun meluncur ke kota lekas-lekas. Maklum, saya mulai didera rasa khawatir mendengar suara gelegar petir. Jangan sampai saya terlambat datang ke acara yang saya tunggu ini. Acara apa? Sesuai pesan Priit dan Kang Lozzakbar, saya diminta untuk mewakili Warung Blogger (WB) untuk menghadiri acara diskusi buku “Sang Patriot” karya Irma Devita.
Usai menempuh perjalanan turun gunung hampir 1 jam, saya pun tiba di pelataran parkir Hotel Raditia Graha, Jl. Sorosutan No. 2. Masih sepi, hanya terlihat banner dan panitia—yang seluruhnya mengenakan pakaian ala laskar pejuang. Agak ragu saya melangkah masuk ke pendapa hotel. Semua yang terlihat adalah kaum pria, kecuali seorang.
Begitu masuk, saya dipersilakan mengisi daftar hadir dan mengambil resume buku yang akan didiskusikan. Di dalam daftar hadir saya lihat Pak Azzet sudah membubuhkan tanda tangan. Saya sengaja mengambil tempat duduk sedikit lebih jauh supaya tidak mengganggu beliau yang sedang asyik berbincang dengan salah seorang panitia. Sambil menunggu, saya duduk tenang membaca resume. Baru sekitar dua menit, Pak Azzet menoleh dan menyapa saya. Perbincangan pun bergulir. Tak lama, azan Ashar bermandang. Beliau mengajak saya sholat berjamaah di mushola hotel. Berdua? Tidak. Bertiga dengan Adam, yang baru saya tahu bahwa ia adalah salah satu anggota WB asal Jember.
Hampir pukul 15.30 saat kami bertiga kembali ke pendapa hotel. Suasana lebih ramai daripada sebelumnya. Mata saya mencoba mengenali sesosok perempuan cantik yang tiba-tiba muncul. Inikah mbak Irma Devita? Pangling. Berbeda sekali dengan profile picture facebook-nya.
Tepat dugaan! Perempuan yang saya maksud tadi adalah Mbak Ing (sapaan akrab Mbak Irma). Saya pun terlibat perbincangan beliau setelah Pak Azzet memperkenalkan kami berempat sebagai perwakilan dari WB. Berempat? Ya! Satu lagi bernama Vierda. Lucunya, dalam bincang ringan itulah saya berkenalan dengan si empu Wanderer Silles. Wah, ke mana saja saya selama ini?
Ah, daripada menanggapi pertanyaan itu, saya memilih mengikuti arahan panitia. Kami berempat duduk berjajar lesehan di karpet, tepat di larik paling muka. Seorang perempuan muda tampil sebagai pembawa acara. Acara dimulai sekitar pk. 16.00. Sebelum sesi inti, ketua panitia (Pak Agung Surono dari Djokjakarta 1945) memberikan sambutan. Acara diskusi buku ini memang terselenggara berkat kerja sama yang ciamik dengan Djokjakarta 1945.
Sesi selanjutnya adalah pemutaran film “Battle of Djokja”. Film reka uang peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 ini merupakan hasil kolaborasi komunitas penggiat sejarah di Yogyakarta. Mengambil lokasi di Benteng Vredeburg—pusat kekuatan Belanda kala itu—film berdurasi sekitar 6,5 menit ini berhasil membuat saya terpukau. Beberapa partisipan boleh dikatakan sudah berumur, tetapi gelora semangat masih tampak jelas di raut wajah beliau semua. Hebat!
Usai menikmati film, kami diberikan tambahan informasi mengenai Djokjakarta 1945 oleh Pak Eko Istiono. Penjelasan beliau terasa lengkap dengan adanya video Battle of Djokja di balik layar, serta kisah tentang seorang partisipan yang meninggal dunia saat shooting fim berlangsung, Pak Buwono. Innalillahi wainnailaihi raji’un. Semoga almarhum diberikan tempat terbaik di sisi-Nya. Aamiin.
Setelah sesi ini, barulah Mbak Ing didaulat oleh moderator (Pak Eko Istiono) untuk menyampaikan pemaparan tentang novel Sang Patriot; berikut ini saya sampaikan secara ringkas.
Siapa sebenarnya Irma Devita? Lewat sebuah video beliau memperkenalkan diri. Mbak Ing adalah seorang notaris, ibu, blogger, yang juga aktif menulis buku-buku tentang hukum dan kenotariatan.
Lalu bagaimana akhirnya Mbak Ing bisa menelurkan sebuah novel sejarah? Semua bermula dari kisah-kisah neneknda, Rukmini. Dongeng tentang sesosok pejuang yang tak lain adalah kakeknda, Letkol. Mohammad Sroedji, membuatnya berjanji untuk menuliskan semua hal tentang tentang Sang Patriot kebanggaannya. Jadilah, 14 tahun setelah neneknda meninggal, buku yang ia janjikan itu terbit setelah perjuangan selama lebih kurang 1,5 tahun. Dalam jangka waktu tersebut, Mbak Ing melakukan riset meliputi pengumpulan data sejarah, di Indonesia bahkan sampai ke Belanda; membaca 28 buku referensi, serta menyempurnakan penulisan.
Sejak awal Mbak Ing telah menentukan sasaran pembaca novel ini. Ia ingin Sang Patriot dinikmati oleh kalangan luas, karena itulah ia memilih bahasa dongeng. Tentu saja, itu semua tak luput dari kendala. Kesibukannya sebagai seorang notaris secara tak langsung membatasi. Belum lagi emosi yang terikut di dalamnya, juga perasaan terus-menerus dibayangi oleh janji. Betapa melelahkan. Begitu buku itu terbit, legalah semua.
Hei, saking asyiknya mengikuti diskusi, tak terasa malam mulai datang. Acara pun diakhiri sekitar pk. 18.50. Setelah acara usai, digelar book signing. Kami berkesempatan pula untuk berpose dengan Mbak Ing. Demikianlah, sepenggal kenangan acara diskusi buku Sang Patriot. Senang rasanya bisa hadir dan membawa pulang pengalaman baru.