Broken Home Mengintai Keluarga Kita
Keluarga. Seberapa vitalkah peran mereka?
Tentu, mereka begitu bermakna bagi kita. Ibaratnya, sejauh apapun kita merantau, pasti selalu ada hasrat untuk pulang ke pelukan keluarga. Jadi meski pun hasil jerih payah kita dinikmati mereka, sensasinya itu puas dan membahagiakan.
Sedari kecil mereka tahu segala tentang kita, memberi didikan pertama, menjadi pelindung dan membentuk siapa diri kita sekarang. Saat di puncak, mereka yang pertama tersenyum. Sebaliknya ketika terpuruk, mereka yang pertama mengulurkan bantuan.
Duhai hangatnya! Bagaimana dengan keadaan keluarga yang malah sebaliknya?
Ya, kehangatan suatu keluarga bisa berubah jadi begitu dingin. Tak ada komunikasi dan rasa peduli. Atau, kehangatan keluarga juga bisa berubah jadi panas. Kerap bersitegang dan saling cekik prinsip.
Ketika keluarga sudah tak jadi ‘tempat pulang yang nyaman’... ketika keluarga selalu mendetak kan kecemasan... ketika keluarga ‘tak bisa diajak bicara’... ketika keluarga ‘begitu dekat namun terasa jauh’... ketika keluarga seakan ‘tak ada’... ketika itu, keluarga kita tengah dilanda broken home.
Broken home adalah gambaran suatu keluarga yang tidak harmonis, rukun dan sejahtera. Akibatnya, masing-masing pihak (anak, ibu dan ayah) merasa tidak dihargai perannya, merasa tidak diperhatikan, dan merasa kurang kucuran kasih sayang dari keluarga.
Broken Home - Source: LINK |
Lalu, apa yang menyebabkan broken home ‘menyambangi’ keluarga kita?
Penyebabnya bisa sangat banyak dan kompleks, namun beberapa diantaranya yaitu:
- Orang tua tidak mampu mengatur waktu. Pagi-pagi buta pergi, lalu pulang ketika larut malam. Akibatnya, kualitas waktu antara dirinya dengan anak sulit tercipta.
- Orang tua merasa hasil jerih payahnya sudah cukup untuk membahagiakan anak. Padahal orang tua semestinya ingat, anak butuh limpahan kasih sayang bukan sekadar uang.
- Orang tua enggan disalahkan atau introspeksi. Hal ini kadang membuat anak frustasi untuk diskusi, bahwa sebenarnya selama ini ‘ada yang tidak beres’ dengan keluarga. Kalau orang tua ‘dikritik’, biasanya mereka akan bilang ‘papa/mama bekerja untuk kebaikan kamu!’. Kalau sampai lepas kontrol emosi, bisa-bisa anak tak akan berani berinteraksi lagi.
- Orang tua tidak bertingkah dewasa. Misalnya saja orang tua malah cekcok atau parahnya ‘main tangan’ di hadapan anak. Pasti pemandangan itu akan jadi memori buruk dan mengendapkan trauma tersendiri.
- Orang tua tidak bertanggung jawab. Ya, akhir-akhir ini banyak peran ‘orang tua’ yang justeru diwakilkan pada orang lain. Seperti pengasuhan, zaman sekarang anak-anak kecil akan lebih akrab dengan baby sitter-nya ketimbang ibunya. Atau, banyak pula para ayah yang tega meninggalkan istri dan buah hatinya. Mereka melepas tanggung jawab begitu saja.
- Terjadi perceraian. Jadi walau anak menunjukkan kalau dia ‘tak apa-apa’ atas perceraian orang tuanya, sebenarnya hati kecilnya menggeleng. Pasti perceraian orang tua membuat sang anak terpukul. Karena itu, semestinya anak diajak diskusi kenapa perpisahan itu malah dijadikan pilihan. Setidaknya, hal tersebut bisa mengurangi beban hatinya.
- Ketidaktahuan orang tua kalau keadaan rumah memengaruhi kehidupan anak. Faktor ini sering menimpa pada orang tua yang belum sadar, kalau keadaan rumah bisa membawa efek bagi tumbuh kembang dan masa depan anak. Mereka merasa wajar-wajar saja ketika menghadirkan konflik antara ibu-bapak ke depan anak.
- Jauh dari Allah Swt. Bagaimanapun, orang yang jauh dari amalan religi cukup sulit mengendalikan diri dan mendapatkan keberkahan.
- Komunikasi yang buruk antara orang tua dan anak. Hal ini sudah tak dianggap enteng lagi. Kita mesti berhati-hati kalau seharian antara anak dan orang tua tidak bertemu atau tidak berkomunikasi. Pastikan anak selalu bercerita tentang apapun. Se-sepele apapun kisah mereka, orang tua sepatutnya menjadi pendengar yang baik. Dengan demikian, anak akan merasa nyaman mengutarakan apa yang ia lihat, pikir dan rasa.
- Orang tua dan anak lebih ‘terbuka’ pada gadget. Penyebab yang satu ini termasuk yang paling banyak kita temui, di mana anak dan orang tua sama-sama lebih suka curhat lewat ponsel atau laptop mereka. Semuanya mencurahkan uneg-uneg atau cerita sehari-hari hanya di media sosial. Bahkan ketika mereka duduk berhadapan untuk makan, bukannya saling bercengkrama malah bisa-bisa saling sibuk memijit-mijit ponsel. Duh!
Mungkin hal-hal lain yang memicu datangnya broken home ke keluarga kita bisa begitu banyak. Tapi yang jelas, kita mesti mewaspadai semua faktor yang menyebabkan kehangatan keluarga jadi luntur.
Nah, bagi yang keluarganya baik-baik saja, jagalah. Terus bagi produk broken home di manapun berada, kita (dikau dan daku) senasib. Cerita kita penuh konflik. So, mari perbaiki agar endingnya hepi. ^_^
***
Tulisan kiriman: Dee Ann Rose
Twitter: @Dee_Ann_Rose
Editor: Petrus Andre