Sumber: vemale.com |
Mengenalmu begitu memberi kesan berharga, seolah inilah moment hidup yang nggak akan pernah bisa dimusnahkan. Sepanjang hari selalu diselingi senyuman. Aku tersenyum dengan kata-kata lembut mu, Akhi. Aku menyukai perhatian dan guyonan kecilmu yang lucu.
Setiap sabtu malam minggu aku menunggu sms darimu, menanti penyemangat hidupku, seorang lelaki yang perlahan-lahan menanamkan benih cinta. Kamu datang bukan dengan seekor kuda putih seperti dongeng, melainkan datang dengan apa adanya dirimu. Berbekal iman, akhlak, dan keberanianmu. Kamu memberikan kebahagiaan seolah cinta kita tak pernah berakhir. Kita sama-sama dimabuk cinta, bermanja-manja melewati batas, melupakan waktu yang berharga.
Semakin hari, kau dan aku menginginkan hubungan ini berlanjut lebih serius lagi. Namun ternyata keinginan mulia ini disusul dengan pertengkaran kecil sepanjang malam. Permasalahan cemburu, dekat dengan orang lain, atau kesalahpahaman lainnya. Kau dan aku makin hambar… Kau dan aku makin merasakan kehilangan cinta. Satu per satu perasaan luntur. Tapi kita selalu mencoba belajar saling mencintai lagi. Lagi. Dan lagi…
Kau dan aku mencoba bertahan pada hubungan yang di ujung kehancuran. Entah karena apa… Tuhan menghadirkan kita dalam keadaan marah, emosi berlebihan hingga suatu hari kita memutuskan pergi sendiri-sendiri. Aku menangis, akhi. Aku tahu kau juga menangis. Aku mengerti dadamu merasakan sesak yang mendalam. Aku tahu engkau meneteskan air mata, meski berulangkali kau coba menghapusnya begitu aku melihat.
Akhi, maafkanlah emosiku.
Maafkanlah semua kekhilafan kita. Maafkanlah masa lalu kita, meskipun tidak akan merubah apapun di masa lalu. Setidaknya dengan maaf bisa menjadikan kita lebih kuat dari sebelumnya.
Akhi, aku salah ya, aku pikir mengenalmu tidak akan pernah musnah, menaruh hati padamu tidak akan pernah berakhir. Nyatanya, kita sekarang berpisah… :’( mungkin ini kesalahan kita… karena yang terlalu mencintai, akan saling menjauh. Mungkin Allah cemburu dengan kita, sehingga inilah hukuman yang pantas kita terima. Berpisah… berpisah, akhi!
Seandainya saja di sana kamu tahu, akhi. Aku nggak pernah sedetik pun membencimu. Sedikit pun tak pernah meletakkan benih dendam di hati. Aku sangat menghargaimu, akhi. Aku tidak mau melupakanmu meski sekarang keberadaanmu menghilang. Sungguh sulit menemukanmu dalam keadaan saling cinta. Kamu sudah pergi lama. Kamu seakan pergi berada di tempat yang jauh sejak kau berhenti mencintai aku.
Yang perlu aku lakukan hanyalah membiarkan hidup ini terus berjalan. Selangkah demi langkah melepaskanmu tanpa harus dipaksa, akhi. Dengan begini akan terasa mudah… dengan begini aku bisa lebih ikhlas. Dengan begini cintaku pada Rabbku tak mungkin terbagi.
Ya akhi, jangan khawatirkan keadaanku di sini ya… rinduku sangat besar untukmu, dan kusimpan rapat-rapat. Aku baik-baik saja, segenap hati ku luruskan niat untuk memperbaiki diri. Kalau kia berjodoh, aku mau dipertemukan kembali dalam keadaan sebaik-baiknya keadaan. Oleh karena itu akhi, perbaiki dirimu juga ya… Jangan selipkan cintamu padaku, sebelum pernikahan itu berlangsung. Aku takut cinta kita adalah tiupan setan.
***
Tulisan kiriman: Novelia Indri
Twitter: @noveliaindris
Editor: Petrus Andre
Waaah.. saya baru meresensi buku yang temanya seperti dalam tulisan ini:
ReplyDeletehttp://www.mugniar.com/2014/10/pikir-panjang-tentang-gaul-dan-syari.html
Semoga bertemu yang terbaik :)
ooh, Akhi itu tokoh yah?
ReplyDeletekirain panggilan.
mengharukan, tapi itulah yang seharusnya...
ReplyDeletesama2 saling memperbaiki diri
ReplyDelete