“Empat belas hari kumencari dirimu. Untuk menanyakan dimanakah dirimu. Empat belas hari
hari kudatangi rumahmu. Agar engkau tahu tertatihku
menunggumu”
Setelah membaca penggalan pada kalimat pembuka di atas. Manusia akan terbagi menjadi tiga kategori. Yang pertama adalah manusia yang membacanya sambil melantunkan sebuah tembang tanpa malu, tahu tanpa perlu harus berpura-pura tidak tahu. Yang kedua, manusia yang ingin berdendang namun menahan diri demi menjaga gengsinya, demi sebuah kasta yang tak tersebutkan, demi sebuah harga diri yang terbentuk karena budaya. Tahu, namun berpura-pura. Dan yang ketiga, terakhir, manusia yang hanya membacanya karena benar-benar tidak tahu kalimat apa yang tertuliskan di atas.
Anda termasuk kategori manusia yang mana?
Kalimat pembuka tadi adalah sebuah penggalan dari lirik lagu ‘Bintang 14 Hari’ yang dipopulerkan oleh Kangen Band, salah satu grup musik beraliranhardrock metal progressive pop asal Lampung.
Kangen Band sendiri adalah sebuah antitesis di industri musik tanah air. Jika
pada umumnya pelaku musik amat sangat mengharamkan pembajakan, untuk Kangen
Band sendiri, boleh jadi, akan sangat berterima kasih terhadap proses
pembajakan. Karena, bagaimanapun, mereka tumbuh dan besar berkat industri musik
bajakan.
“Kamu pacar
terbaikku. Walau hanya sekejap di hatiku. Mengapa hanya sekejap saja. Ku merasakan indahnya dengan dirimu. Mengapa hanya untaian kata. Ku rasa tiada
sempurna cerita cinta kita.”
Setelah membaca penggalan pada kalimat pembuka di atas. Manusia akan terbagi menjadi tiga kategori. Yang pertama adalah manusia yang membacanya sambil melantunkan sebuah tembang tanpa malu, tahu tanpa perlu harus berpura-pura tidak tahu. Yang kedua, manusia yang ingin berdendang namun menahan diri demi menjaga gengsinya, demi sebuah kasta yang tak tersebutkan, demi sebuah harga diri yang terbentuk karena budaya. Tahu, namun berpura-pura. Dan yang ketiga, terakhir, manusia yang hanya membacanya karena benar-benar tidak tahu kalimat apa yang tertuliskan di atas.
Anda termasuk kategori manusia yang mana?
Sumber gambar: Jukebo.com |
Kalimat pembuka tadi adalah sebuah penggalan dari lirik lagu ‘Bintang 14 Hari’ yang dipopulerkan oleh Kangen Band, salah satu grup musik beraliran
Saya pernah bertanya kepada orang yang memiliki
ketertarikan khusus pada Kangen Band. Kenapa Kangen Band? Tanya saya ketika
itu. Alasannya ternyata sederhana. Kata dia, Kangen Band menyuguhkan lirik yang
sederhana, kadang jenaka, dan cerita-cerita di dalam lagunya amat dekat dengan
kehidupan pendengarnya. Selain, tentu saja, musiknya yang nyaman untuk
didengarkan. Setidaknya untuk dia dan sebagian orang yang menyukainya.
Alasan-alasan tersebut boleh jadi benar.
Sepanjang yang saya ingat, mereka pernah merajai tangga lagu musik tanah air
selama beberapa waktu. Lagu-lagunya menggema di radio-radio di hampir seluruh
pelosok negeri. Kangen Band tumbuh menjadi salah satu pelaku musik yang paling
diperhitungkan kala itu. Dengan alasan yang sama, para pengamen, pelaku musik
jalanan, dengan senang hati membawakan lagu Kangen Band di setiap
penampilannya. Sederhana saja, bagi para pengamen itu, menyanyikan lagu yang
sedang populer lebih berpeluang untuk menghasilkan pundi-pundi receh.
Kangen Band sedang berada di puncak
popularitasnya.
Namun, di antara banyak sekali orang yang
menyukai Kangen Band, akan tetap saja kita temukan para pembencinya. Alasannya
beragam. Liriknya yang menjijikan, musiknya yang apalah entah, atau bahkan tak
jarang bentukan fisik para personilnya kerap kali digunakan sebagai salah satu
alasan Kangen Band layak untuk dibenci. Alasan yang terakhir menjadi alasan
yang paling banyak dikumandangkan. Alasan terakhir ini juga lah yang ingin saya
bahas kemudian.
Sebagian besar dari kita telah terkukung oleh paham yang menyesatkan. Mudah saja bagi kita untuk menolak atau menghujat sebuah karya hanya karena kita tidak menyukai pelaku (pembuat) karya tersebut. Dan ini terjadi untuk banyak sekali kasus. Seperti contoh Kangen Band tadi, misalnya. Ketidaksukaan terhadap (salah satu) personelnya, kerap kali menjadi alasan untuk tidak menyukai lagu-lagu dari Kangen Band. Alasan kenapa tidak suka kepada personelnya itu sendiri beragam. Bentukan fisik (sudah saya sebutkan tadi), gaya berbusana, perilaku sehari-hari, atau apalah entah. Alasan-alasan yang akan membawa kita kepada perilaku yang subjektif.
Sumber gambar: Slideshare.net |
Sebagian besar dari kita telah terkukung oleh paham yang menyesatkan. Mudah saja bagi kita untuk menolak atau menghujat sebuah karya hanya karena kita tidak menyukai pelaku (pembuat) karya tersebut. Dan ini terjadi untuk banyak sekali kasus. Seperti contoh Kangen Band tadi, misalnya. Ketidaksukaan terhadap (salah satu) personelnya, kerap kali menjadi alasan untuk tidak menyukai lagu-lagu dari Kangen Band. Alasan kenapa tidak suka kepada personelnya itu sendiri beragam. Bentukan fisik (sudah saya sebutkan tadi), gaya berbusana, perilaku sehari-hari, atau apalah entah. Alasan-alasan yang akan membawa kita kepada perilaku yang subjektif.
Jika bahasan ini hanya menekankan terhadap
proses keberterimaan suatu karya. Maka perilaku subjektif ini akan menjadi amat
sangat menyebalkan. Herbert Read, seorang penyair asal Inggris, pada salah satu
tulisannya pernah berkata: ‘Perilaku subjektif akan menyebabkan keindahan suatu
benda (karya) itu menjadi tidak ada. Yang ada hanya bagaimana perasaan (asumsi)
dari orang yang melihat benda (karya) tersebut.’ Sederhananya, perilaku
subjektif akan mengaburkan penilaian kita terhadap suatu hasil karya. Kita
tidak akan pernah bisa menerima sebuah karya secara utuh jika terus menerus
dikukung oleh pemikiran yang subjektif.
Sebagus apa pun lagu yang diciptakan oleh
Kangen Band, nantinya, akan tetap dianggap sebagai sebuah sampah jika hanya menilai
Kangen Band sebagai maujud yang busuk.
Mari kita beralih ke contoh subjektifitas yang
lain. Sebuah tulisan tidak akan sudi dibaca jika kita membenci penulisnya,
sebuah ide/gagasan, pada saat rapat misalnya, tidak akan bisa kita terima
karena kita membenci pencetusnya, sebuah film tidak akan mau kita tonton jika
kita membenci sutradara atau aktor di dalamnya, sebuah pembangungan dan
kemajuan suatu daerah tidak akan bisa kita akui hanya karena kita membenci
kepala daerahnya.
Menyebalkan, bukan?
Dan bayangkan jika para pelaku subjektif ini
adalah sosok yang berpengaruh. Yang dapat mengubah sebuah subjektifitas
tunggal, hasil pemikirannya sendiri, menjadi sebuah subjektifitas massal.
Orang-orang yang awalnya biasa saja, ikut terbawa arus untuk menolak sebuah
karya hanya karena sosok pelaku karya tersebut.
Jika sudah begini, hanya tinggal menunggu waktu
belaka untuk para pelaku karya itu berhenti, lalu kemudian menunggu mati.
Padahal kita bisa, kok, menikmati sebuah karya,
dalam bentuk apa pun, tanpa harus memedulikan siapa pembuat karya itu. Seperti
saya yang amat tidak menyukai Kangen Band. Tapi masih bisa menikmati dan
menghafal lagu ‘Bintang 14 Hari’.
***
Tulisan ini dibuat oleh Andhika Manggala Putra.
Seorang narablog yang biasa menulis tentang kehidupan sehari-harinya. Tentang
keluarga, cinta, persahabatan dan seperti itulah. Beberapa kali ia juga menulis
cerpen. Tulisan Andhika yang lain bisa Anda baca pada blog pribadinya andhikamppp.com. Atau, Anda bisa menyapa Andhika
pada akun media sosialnya @andhikamppp (Twitter dan Instagram)
Terima kasih Warung Blogger sudah menerbitkan tulisan saya. Tulisan ini hanya membahas karya yang ditolak oleh perilaku subjektif. Sebaliknya, masih banyak juga karya yang diterima hanya karena alasan serupa "subjektif" tanpa memedulikan isi dari karya tersebut, selagi pelaku karya tersebut disukai, karyanya akan dianggap bagus. Sejelek apa pun karya tersebut.
ReplyDeleteSengaja tidak saya cantumkan, atau mungkin lain kali saya tulis di artikel lain.
Salam
bermanfaat---
ReplyDeleteKangen Band itu bakalan seperti Gaudi. Berkarya ketika hidup, dihujat bahkan dibilang gila. Lalu kemudian jadi maestro setelah tiada~~
ReplyDelete