Menulis di Media vs Menulis di Blog. Apa Bedanya?
Beberapa orang teman,
dan yang kebetulan pernah berkunjung ke blog pribadi saya, mungkin tahu kalau
saat ini saya bekerja di salah satu media online
sebagai reporter. Atau meminjam bahasa kekinian,
sebagai seorang content writer.
Minggu kemarin, di
grup whatsapp Warung Blogger, saya membuat sebuah kesalahan dan karenanya saya
mendapatkan hukuman menulis. Tema yang diberikan saat itu adalah tema yang
berkaitan dengan pekerjaan saya sebagai reporter media online. Lebih spesifik, saya diminta untuk membuat sebuah
artikel mengenai perbedaan menulis di media –sebagai reporter dan di blog
–sebagai blogger. Adakah perbedaannya? Tentu saja, beberapa amat signifikan
malah. Dan apa aja, sih, bedanya?
Sumber gambar: Pixabay |
Menulis di media
Ketika menulis di
media, kami harus berpegang teguh pada etika jurnalistik. Setiap kami menulis,
kami harus mengingat kembali apa saja yang ada di etika-etika jurnalistik
tersebut. Sederhananya, kami tidak boleh menuliskan sesuatu yang berpotensi
menyinggung SARA, berisi konten pornografi, hoax,
dan atau menulis artikel yang berisi penuh dengan opini dari si penulis. Tidak
boleh.
Kebayang, dong, bagaimana hati-hatinya kami dalam
membuat satu tulisan. Apalagi dalam satu hari, kami ditargetkan menulis sebelas
tulisan hanya dalam waktu delapan jam saja. Untungnya, beberapa waktu yang
lalu, target tulisan dikurangi menjadi hanya sepuluh tulisan setiap delapan jam
kerja. Sebuah perubahan yang enggak
signifikan memang.
Terlebih ketika
membuat tulisan yang berhubungan dengan peritiwa humanis. Kami juga harus memikirkan
dampak tulisan yang kami buat terhadap objek (atau subjek) yang kami tulis,
tentang keluarganya dan juga lingkungan di sekitarnya. Jangan sampai tulisan
tersebut mengekspos hal-hal sedemikian rupa yang tidak berkaitan yang membuat
enggak nyaman si objek (atau subjek) yang ditulis.
Ini rahasia. Beberapa waktu
yang lalu saya pernah membuat satu tulisan yang saya sendiri tidak menyangkan
akan berdampak luar biasa besar buat kehidupan orang yang saya tulis. Tulisan
tersebut menjadi viral, dibaca lebih
dari seratus ribu kali. Padahal, menurut editor saya, biasanya standar tulisan
bisa disebut viral jika telah dibaca
lebih dari 20.000 kali.
Tulisan apa?
Ingat tentang anak SMA yang sempat
menggegerkan dunia maya ketika menuliskan tentang isu kebinekaan di laman
facebooknya? Yang sampai diundang oleh Bapak Presiden ke istana. Bukannya
sombong atau bagaimana. Tapi –jika ingin
tahu saya lah yang pertama kali menulis tentang anak tersebut di media online tempat saya bekerja. Dampaknya
luar biasa besar. Kehidupan anak itu setelahnya benar-benar berubah. Yang
semula bukan siapa-siapa menjadi
tenar dan dikenal masyarakat luas. Banyak media yang mengundangnya untuk
wawancara. Sampai akhirnya semakin ke sini, menjadi juga banyak musuh. Tak
sedikit pula yang mem-bully anak
tersebut.
Dalam hati, saya menyesal
pernah menulis tentangnya di media. Karena setelah dia viral, ya tahu lah sendiri berikutnya bagaimana. Dan jika
diperhatikan, meskipun sekadar melalui media sosial, dia itu cukup freak dan memang memang membutuhkan atensi yang banyak dari umat.
Dampak yang luar biasa. Dan
saya pribadi enggak nyangka sampai segitunya tulisan saya bisa berpengaruh.
Enggak percaya? Kamu boleh googling
berita tentang dia. Yang muncul di laman pertama google, dari media tempat saya
bekerja, adalah tulisan saya semua.
Begitulah. Menulis di media harus amat sangat berhati-hati sekali. Dan saya yang berhati-hati
sekalipun, tulisan benar sesuai fakta, tidak melanggar etika jurnalistik tapi
masih saja tersandung masalah karena ada subjek yang tidak terima untuk
diberitakan.
Bahkan pernah sampai tiga hari saya ‘diteror’ oleh
orang yang tidak terima saya beritakan. Dia meminta berita yang saya tulis
untuk segera diturunkan. Untuk informasi, reporter/wartawan atau apa pun itu
namanya tidak punya wewenang untuk menurunkan berita yang telah ditulis. Itu
menjadi keputusan dan wewenang atasan kami di kantor. Dan pertimbangan berita
bisa diturunkan, yang utama, jika dianggap bermasalah untuk perusahaan. Selama
berita itu benar, sesuai fakta. Berita yang telah dimuat, boleh untuk tidak
diturunkan meski pun ada yang merasa terganggu dengan berita tersebut. Sekali
lagi, digarisbawahi. Selama berita itu benar.
Intinya. Hati-hati banget, deh, kalau menulis di media. Karena selain bawa nama pribadi, kita juga membawa nama perusahaan tempat kita bekerja. Tanggung jawab ganda. Selain itu, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, kita harus meninggalkan segala opini dalam pemberitaan yang kita buat. Apalagi kalau yang ditulis adalah isu panas. Sama sekali enggak boleh ada opini pribadi. Bahaya. Sebagai orang yang bekerja di media, kami benar-benar harus netral dan sesuai fakta. Pastikan telah mengonfirmasi kebenaran berita sebelum berita itu dimuat.
Selain itu, yang menyebalkan, kami awak media tidak bisa
menentukan tema apa yang ingin kami tulis. Di media, kami tidak menulis apa
yang ingin kami tulis. Tapi, kami menulis apa yang dinginkan pembaca. Dan tentu
saja, topiknya harus up to date dengan
apa yang terjadi di dunia luar. Misalnya, penulis berita entertainment ingin menuliskan berita tentang
putusnya Zayn Malik dengan Gigi Hadid, tapi editor, atas permintaan pasar,
ingin membuat berita tentang hubungan Ayu Ting-ting dengan Raffi Ahmad. Jika
sudah begitu, kami bisa apa?
Sumber gambar: Pixabay |
Sebaliknya, menulis di blog bisa sebebas apapun yang kita mau. Bebas dalam
arti: bisa menulis apapun yang ada di benak untuk dituliskan di blog tanpa
perlu memedulikan permintaan, tekanan dari pihak manapun. Misalnya, ketika
galau atau sedih, saya akan mencurahkan semua isi hati di blog atau tumblr
sampai saya puas sampai saya bosan. Tidak mungkin, kan, saya menulis perasaan
hati di media tempat saya bekerja. Nantinya, bisa di-kill sama editor.
Apalagi, blog saya merupakan blog
personal tanpa kategori khusus. Kamu bisa menemukan sisi lain dari Natalia
Bulan Retno Palupi di blog Bulan The Iron Girl yang bebas yang benar-benar berbeda.
Meski begitu, dalam beberapa kasus, kita
tetap harus berhati-hati dalam opini ketika memberikan sebuah tanggapan kepada
instansi, seseorang atau apapun yang tidak menyangkut pribadi kita sendiri.
Karena, bagaimanapun, kekuatan blog bisa sama kuatnya dengan media. Dalam arti,
ketika kita bisa membuat sebuah karya tulis yang baik, bukan tidak mungkin blog
kita akan menjadi viral dan meraup
ribuan pembaca.
Meski untuk kasus saya pribadi, saya
tidak pernah mengharapkan blog saya menjadi viral.
Wong, tulisannya isinya cuma curhatan semua. Yang penting saya punya
media untuk mencurahkan semua perasaan saya apa adanya. Menulis jujur untuk
diri sendiri, untuk bisa membuang semua yang menggangu di benak dan otak saya.
Melepaskan semua keresahan yang berkecamuk di kepala. Karena, untuk saya,
menulis adalah terapi. Menulis itu adalah sebuh obat untuk seorang introvert seperti saya yang enggak bisa
bercerita banyak ke orang-orang. Untuk orang terdekat sekalipun.
Untuk saya, blog adalah tempat kamu
mengenal saya lebih dekat saat saya tidak bisa berkata-kata banyak sama kamu.
Karena saya selalu lebh bisa jujur ketika bercerita melalui tulisan, bukan
kata-kata langsung. Jadi, apa yang pernah kamu baca di blog saya, semuanya itu
adalah pemikiran saya seutuhnya, sejujurnya, sesungguhnya saya.
Intinya, blog adalah media berekspresi
bebas. Sedangkan media massa online
adalah tempat saya bekerja berekspresi dalam rambu-rambu bernama etika.
Kamu bisa menemukan sisi serius saya di tulisan-tulisan yang saya buat di media
tempat saya bekerja. Dan kamu bisa menemukan sisi saya yang lain di blog.
Ehm, gimana,
ya, penjelasan saya? Bisa dipahami enggak kira-kira? Atau malah makin
suram? Hehehe.
Ya, lebih kurang seperti itulah yang
bisa saya jelaskan tentang pengalaman menulis di media dengan pengalaman menulis
di blog. Dan ini menurut saya. Kalau ada yang mau bertanya, berpendapat dan
berdiskusi bisa melalui kolom komentar di bawah. Atau bisa mention saya di twitter: @nbuLan5 atau mau whatsapp-an? Sini, saya bisikin nomor hape saya. *modus*
Akhir kata. Terima kasih sudah membaca. Godbless ya all.
-----
Artikel ini merupakan artikel kiriman dari Natalia
Bulan Retno Palupi Blogger x Journalist. | Ad Astra Per Aspera. | DS#22. Kamu bisa menyapa bulan melalui akun twitternya di @nbuLan5.