Sepagi ini, di tengah padatnya kemacetan
ibukota, saya melihat satu buah video di beranda facebook, yang membuat saya bungkam. Ia memperlihatkan sekelompok
pekerja di ibukota yang sedang menunggu angkutan di pinggir jalan. Mereka
saling diam, dengan mata tertuju ke layar ponsel masing-masing. Sesekali,
pandangannya berubah ke arah jauh, memastikan kedatangan angkutan yang sedang
mereka tunggu. Keringat tampak mengucur deras dari mereka yang mulai bosan dan
masih saling acuh. Pemandangan tersebut adalah hal yang lazim dewasa ini. Tak
ada yang spesial. Sampai kata pamungkas itu muncul.
“Hompimpa alaium
gambreng!”
Menurut demografi kelompok penduduk yang dibuat
Don Tapscott,
dalam bukunya Grown Up
Digital, saya termasuk ke
dalam kelompok Generasi Y: The Echo of
the baby boom. Sebuah kelompok generasi yang unik, yang menikmati segala
kemajuan dan kemudahan dunia digital namun memiliki kenangan dan pengalaman
yang sama banyaknya tentang kehidupan yang menyenangkan di dunia analog. Dan
video tadi membuktikannya. Melalui salah satu kemajuan teknologi, saya dipaksa
untuk larut dalam kenangan di waktu itu.
***
“Hompimpa alaium
gambreng!”
Sekelompok orang di dalam lingkaran mengucapkan
mantra magis itu bersama-sama. Dengan senang. Warnamu berbeda dan kamu keluar sementara,
menunggu sampai semuanya selesai bermantra. Yang terakhir, ditinggalkan
sendirian dengan mata yang tertutup di tengah tiang untuk mengeja sejumlah
angka yang disepakati. Sepuluh, dua puluh, entah. Bukan, ia bukan menghitung.
Karena kecepatan eja tidak pernah sama. Satu sampai sepuluh ada yang selesai
dalam satu tarikan nafas. Ada juga yang selesai ketika rindu sudah berbalas.
Yang tidak menghitung berhamburan mencari tempat sembunyi untuk kemudian nanti
dicari. Sedangkan para bedebah kecil melakukannya dengan cara lain, melarikan
diri untuk sesuap nasi. Dan jika nanti di luar sana sudah sepi, bedebah kecil
ini sungguh tidak peduli. Biar saja, katanya, besok bisa main lagi.
“Hompimpa alaium gambreng!”
Sekelompok orang di dalam lingkaran mengucapkan
mantra magis itu bersama-sama. Dengan senang. Mencari warna berbeda dengan sama
rata dan mereka terbagi dua kearah yang berbeda. Berjauhan. Dengan nafas yang
panjang ditambah kaki telanjang mereka saling mengejar dan menghindar, mencari
lawan untuk ditawan. Pihak lawan yang tertawan dibariskan sembarang dengan tangan
meregang. Berteriak meminta bala bantuan. Sederhana sekali mereka bebas. Sekali
saja kulit kawan bersentuhan, aih, tidak perlu kulit bersentuhan malah. Asal
niat dan dekat dan tidak ada yang lihat mereka bisa kembali berlarian kesana
kemari dan tertawa. Di samping mereka, dekat saja, satu dua disisakan menjaga
tiang yang jadah untuk dijamah. Serupa tempat suci yang harus dijaga sampai mati.
Atau paling tidak, tempat itu dijaga sampai dipanggil ibu untuk mandi.
“Hompimpa alaium
gambreng!”
Masih bersenang-senang. Dan berlarian mereka
bersembunyi. Meninggalkan satu orang yang sedang sibuk menumpuk batu berantakan
akibat bola yang dilempar. Kadang berganti dengan plastik yang dibalut atau
kain atau apapun serupa bola. Dan ia tinggalkan batu yang telah kembali rapi
tersusun untuk mencari mereka yang sembunyi. Lengah! Dari balik semak yang
rimbun tepat di belakang tubuhnya ada orang menampakkan diri dan berlari menuju
batu. Si Penjaga batu ikut berlari sekuat tenaga demi mempertahankan batu untuk
tetap berdiri tegap. Satu langkah dan ia tersungkur. Dengan satu hentakan dari
kaki yang bebal, batu itu kembali poranda. Atau jika malas untuk bersembunyi, setelah
batu rapi tersusun si penjaga akan menjaga tumpukan itu dengan cara yang lebih
bijaksana. Melempar dengan bola sesiapa saja yang berani mendekat. Sekuat
tenaga.
“Hompimpa alaium
gambreng!”
Dua orang terakhir kembali menjadi tumbal.
Berdiam diri merentang tali. Sedangkan yang lain, berbaris, bergerak bergantian
melewati utas yang menyintas. Semula melangkah, melewati tali semata kaki,
kemudian di lutut, lalu ke perut. Dan terus, semakin dilewati dan semakin tinggi
sampai membutuhkan galah. Dan tak ada lagi barisan. Semua menunggu dengan rapi,
dari jarak yang berlebihan. Pria-pria terkutuk meminta izin lebih dulu agar
bisa diam di bawah tali. Menunggu lengah wanita-wanita dengan rok untuk
kemudian mencari celah basah. Dasar bedebah.
***
“Ayo main di luar!” kata terakhir dan video itu
pun selesai. Satu menit yang mengobok-obok kenangan.
Di era dunia digital, kita memang mendapatkan
kesenangan luar biasa dengan berbagai kemudahan. Namun semua itu kita lakukan
sendirian. Mengucilkan diri di dalam ruang. Sempit, menunduk, dihubungkan
dengan siapa entah melalui jaringan maya yang tak teraba. Tidak ada tawa
kolektif di satu tempat yang sama dengan fokus aktivitas dan tujuan yang juga
sama: mencari senang.
Ponsel saya matikan. Masih dari tengah-tengah
padatnya kemacetan ibukota, saya melihat sekeliling. Lalu pertanyaan itu
muncul: Mungkinkah, sekarang kita bermain
di luar?
Sumber gambar: lighthouse-indonesia.com |
Catatan:
Dalam tulisan ini, sengaja saya tidak menyebutkan nama permainan di atas. Pertama, karena di setiap daerah nama permainan tersebut berbeda-beda. Kedua, agar narasi di atas dapat sedikit mengajak kita untuk membayangkan keseruan yang terjadi di waktu itu.
Nostalgia lg..
ReplyDeleteMaen petak umpet tp uslum dulu.. klo disaya hompimpah itu dsebutny uslum
kalau aku baru tahu hompimpa ini waktu udah ke kota, pas di kampung dulu bahasa kami beda, namanya a a pong
ReplyDeleteAhh hompimpa itu selalu jadi makananku dulu. Seru dan seneng kalau main sama teman² gak ada capeknya
ReplyDeletehmmm.. saya jadi pengen bernostalgia lagi nih main petak umpet, tali karet, benteng2an wkwkwk.. bener sih anak jaman sekarang selalu males main di luar, lebih senang terperangkap dengan sebuah gadget.. padahal klo anak jaman dulu malah paling males disuruh main dalam rumah, pengennya kumpul sama temen2 hehehe
ReplyDeleteTulisannya ngalir rasanya jadi ikut2an lari-larian di tanah lapang . Ngerasain sendiri sih sekarang kalo main gadget berlama2 rasanya sebentar, tapi jogging setengah jam aja rasanya lama.
ReplyDeleteWah keren tulisannya.tersindir nih aku.rasanya masih sulit lepas gadget, kayak ada yg kurang
ReplyDeleteJadi ingat masa kecil mas, pagi-pagi akhir minggu seperti ini biasanya udah ada aja yang manggil untuk main di luar. Seru banget pokoknya, sekarang sudah jarang kayaknya ya
ReplyDeleteYang kasihan teman saya murni dari Papua, ikut mainan seperti itu selalu apes. Karena bolak balik hitam haha. Jadinajang bully deh
ReplyDeleteaku paling males maen yang sebelumnya pake acara hompimpah... mending cang kacang panjang yang panjang jadi :D
ReplyDeleteEntah Kenapa sembari membaca tulisan iNi,yang aku ingat pertama kali adalah kenangan permainan pada masa kecil dahulu :')
ReplyDeleteJadi inget permainsn hompimpah waktu kecil, video-nya bagus nih orang dewasa yang sibuk dengan gadget masing-masing tiba-tiba kena mantra ajiab hompimpah
ReplyDeleteAnak zaman 90-an mainannya di mana-mana ya sama aja, ya. Ada petak umpet, lompat tali, trus apa tuh yang dua lagi lupa namanya. Hehehe. Semua menyenangkan. Yap, ada tawa kolektif, ada tujuan yang sama: mencari senang.
ReplyDeleteBagus tulisannya. Tapi tetep aja ada kata-kata yang kurang kusuka. Hehe.
Aku generasi 90an dan sempat main ini dulu. Rame. Aku jadi ingat teman2 masa kecilku. Yang cewek2 sudah tidak ada di desa lagi karen diboyong suami. Yang cowok pada merantau ke luar kota. Permainan tradisional macam ini melekatkan hubungan kami dulu. Sekarang, cuma tahu info dari media sosial.
ReplyDeletehom pimpah...unyil kuciiing
ReplyDeleteingat dulu film si unyil waktu kecil
Bahagia dan sehatnya masa anak-anak zaman dulu, penuh gerakan sehat. Kangen masa lalu itu
ReplyDeleteAku dulu maen hompimpa setiap memulai permainan tradisional. menentukan siapa yang main duluan atau belakangan atau siapa yang jaga dan siapa yang sembunyi termasuk membagi tim heheheh
ReplyDeleteAnak 90-an pasti sangat terkenang dengan permainan ini. Sekarang ini ada komunitas dolanan anak, tapi ya anak yang dolan gadget masih amat banyak
ReplyDeleteZaman dulu sering maen di luar juga kak. Zaman now kita keabisan lahan buat main huhuhu. Moga anak2ku msh kenal main di lura. Tapi aku jarang kasi gadget sih. Cuma ya gtu aku batasin mainnya krn berita penculikan anak makin serem, sementara ibunya waktunya dikit buat ngawasin, paling main setengah jam di luar rmh saat sore aja...
ReplyDeleteAh kalimatnya jleb banget. Mungkinkah sekarang kita main d luar? Jadi Berpikir lebih serius nih saya Melihat kenyataan sekarang.
ReplyDeleteHompimpa alaium gambreng! Kamu ucing!!
ReplyDeleteDan mendadak aku pun terhempas ke masa lalu. Masa dimana rasanya masalah terberat hanyalah tugas sekolah, dan solusi yang harus dipecahkan adalah bagaimana agar aku boleh bermain lebih lama.
Lebih fokus ketangan tangan itu..terlihat persatuan dalam keberagaman...hi2
ReplyDeleteHom pim pa alaium gambreng.
ReplyDeleteMak ijah pake baju rombeng.
Ini yang dijadikan rapalan anak-anakku kini.
Dan aku masih bisa mengenang bagaimana dulu selalu aku jadi pupuk bawang karena badan mungilku.
Aah~~
Masa itu.
Hahahaha gilsss, uda lama banget ga maenan itu. Padahal seru banget apalagi kl dpt yg bagian akhir :')
ReplyDeleteBerasa nostalgia lagi, itu permainan seru yang ironisnya mulai di tinggalkan anak-anak, terutama kawasan kota dan perumahan
ReplyDelete