Dulu ketika saya masih tinggal di Solo, suasana liburan akhir tahun akan selalu ramai dengan perbincangan seputar tempat wisata. Meskipun saya bukan anak traveling yang rutin pasang #MyTripMyAdventure di Instagram. Tapi perbincangan seputar isu wisata nggak pernah ada habisnya, mulai dari tempat wisata baru yang instagramable hingga dampak negatif dari kunjungan wisata tersebut.
Bicara soal dampak negatif selalu membawa saya pada cerita-cerita menyebalkan seputar perusakan alam. Kita sebut "perusakan alam" saja ya. Bukan "kerusakan alam". Karena setidaksengaja apapun kerusakan yang ditimbulkan, berwisata tanpa memabawa bekal berupa kepedulian terhadap lingkungan adalah indikasi perusakan sejak dini. Dan sekali lagi, itu menyebalkan.
Selain mendapat informasi dari mulut ke mulut perihal area wisata yang rusak, saya juga kerap menemui beritanya di media sosial. Sudah ada banyak contohnya, salah satunya ada di Taman Bunga Amaryllis, Gunung KIdul, Yogyakarta. Hamparan bunga-bunga yang begitu cantik dengan perpaduan warna hijau dan orange, tak lagi terlihat menyenangkan ketika orang-orang merusaknya saat mencoba berfoto di tengah-tengah taman. Begitupun yang terjadi di Kebun Raya Baturaden, Banyumas. Pengunjung yang ingin mengabadikan momen wisatanya tanpa malu menerobos bunga-bunga yang sudah ditata sedemikian rapinya. Jangankan ganti rugi atau ada upaya untuk memperbaiki, merasa bersalah saja belum tentu.
|
Taman Bunga Amaryllis Gunung Kidul rusak akibat kelakuan wisatawan narsis. Warga membuka kotak sumbangan untuk memulihkannya lagi. | nasional.tempo.co |
Hal yang juga tak kalah menyebalkannya adalah penimbunan sampah di area pantai dan pegunungan.
Contoh paling gampang, Ranu Kumbolo, kawasan wisata yang mendadak naik daun ketika film 5 CM naik panggung. Di balik keindahan danau berlatar belakang dua gundukan bukit yang hijau itu, ada timbunan sampah yang sama sekali tidak instagramable, lho. Ketidakmampuan indiviu untuk bertanggung jawab terhadap sampah-sampahnya menjadi hal yang harus diderita oleh ekosistem alam di sana.
Demikian juga di kawasan wisata seperti pantai. Jangankan menikmati senja, sampah-sampah yang memenuhi bibir pantai saja membuat kita kesulitan untuk sekadar duduk. Sangat disayangkan, wisata alam yang mestinya memberi nuansa menyegarkan menjadi rusak dan tercemar karena perlaku yang tak terkontrol.
Dan sesaat lagi kita akan kedatangan dua hari libur yang cukup krusial, Natal dan Tahun Baru. Merayakan liburan dengan berwisata tentu menjadi hal yang lumrah. Tak jarang, rencana destinasi pun mulai disusun. Bagaimana mencari destinasi wisata? Tentu saja berbekal layanan internet. Baik googling hingga kepoin akun-akun traveling menjadi upaya maksimal bagi khalayak dalam menentukan ke mana mereka akan bertandang.
Sayangnya, seringkali yang dicari hanya faktor keindahan visual dan mungkin sudah mulai membayangkan pengaturan feeds instagramnya. Tapi apakah mencari literasi wisata juga sempat mereka lakukan?
Generasi "Piknik" Indonesia?
Perkembangan dunia digital memang membuat kita dengan mudah mengetahui lokasi-lokasi mana yang bisa dikunjungi. Sehingga kita tidak perlu ribet ketika merencanakan liburan. Dan tentu saja Kemenpar pun memanfaatkan hal tersebut untuk menyemarakkan potensi wisata di Indonesia dengan usahanya membentuk sebuah platform khusus bagi "netizen" yang doyan piknik. Sebut saja Generasi Pesona Indonesia atau yang sering dipanggil "Genpi".
Munculnya Genpi memang memberi angin segar bagi citra Kemenpar yang formal dan rigrid. Pasalnya, Genpi dihuni oleh para digital native yang masih muda dan begitu aktif, bahkan hiperaktif, dalam bermain media sosial. Namun di balik pemugaran citra itu, saya melihat Genpi terlalu menyia-nyiakan potensinya.
Dilansir dari laman
genpi.co, saya menemukan kegemesan-kegemesan soal visi, misi, hingga ruang lingkup kegiatannya. Misal pada jawaban dari pertanyaan,
"Targetnya Genpi apa?" Menurut FAQ yang mereka terbitkan, target utama Genpi adalah
"viral dan trending topic". Dengan penjabaran singkat soal mengenalkan destinasi baru, potensi budaya, dan kuliner.
Menurut saya, platform sebesar Genpi terlalu remeh temeh kalau cuma mau viral dan jadi trending topic. Karena prakteknya, saya justru seringkali terganggu dengan upaya mereka di media sosial yang bersikeras menjadi viral dan menempati trending topic karena dilakukan dengan cara-cara yang terlalu nyepam.
Algoritma Twitter dalam menaikkan trending topic memang membuat kita harus kerja keras ngetwit suatu pembahasan (yang biasanya diwakili dengan tagar) sebanyak-banyaknya dan juga dibicarakan oleh banyak user sekaligus dalam waktu yang relatif berdekatan. Akan tetapi, keaktifan Genpi berserta pasukan netijennya untuk menjadi trending topic tidak diimbangi dengan materi pembahasan yang kuat. Maka seringkali saya temukan twit-twit mubazir mereka di timeline. Sampai-sampai, beberapa orang yang saya kenal mem-block tagar mereka karena merasa terganggu. Sementara saya, sejauh ini masih tega nge-unfollow meskipun pada orang yang saling kenal.
Andai saja materi pembahasan mereka kuat dan cara penyebarannya efektif, saya rasa apa yang mereka bicarakan bisa jadi trending dengan alami. Kok gitu? Woiya. Coba perhatikan utas-utas yang viralitasnya tinggi. Setiap twit pasti ada poin pokok yang disampaikan. Dengan twit yang informatif dan komunikatif, orang-orang akan sukarela merespon twit tersebut.
Sementara Genpi membuat twit campur aduk, tidak testruktur, dan membabi buta dalam penggunaan tagar. Genpi terlihat tidak ingin menempuh jalan terjal untuk menjadi trending karena bobot atau kualitas. Mereka justru terlihat ambisius mengangkat tagar di papan mading Twitter melalui jalan pintas.
Baca tulisan Ilham lainnya: Penjelasan tentang Pantai Hingga Gunung di Solo
Fokus mereka untuk menjadi viral dan trending justru membuat konten mereka terasa hambar. Padahal dengan forum keanggotaan mereka yang begitu besar, Genpi bisa jadi lebih keren dari ini. Turut menyebarkan literasi wisata, misalnya. Tidak hanya destinasi baru melulu yang disiarkan, tapi bagaimana membangun iklim positif untuk tahu apa yang harus dilakukan saat di lokasi wisata juga perlu digencarkan. Contoh sederhananya bisa dengan menjawab pertanyaan umum seputar, "Eh, tempat sampahnya mana, sih?"
Yup, tidak semua tempat wisata menyediakan tempat sampah. Seringkali wisatawan "membuat" tempat sampah sendiri tapi tidak eco-friendly sama sekali. Tempat sampah dadakan hasil kekompakan membuang sampah di sudut-sudut tertentu. Jadi, ketika lokasi wisata baru mulai viral di media sosial dan membuat ratusan orang mau berkunjung, ketidaksiapan pengelolaan lokasi tersebut bisa jadi bumerang yang mencemari tempat-tempat itu.
Ah, yang penting kan dapat foto kece buat diposting. Urusan lingkungan biar jadi PR-nya Greenpeace aja.
Header: Rawpixel.com via
Pexels